“Apakah keluargamu mengatakan sesuatu setelah Anda jatuh sakit?” Nina yang ada dihadapan saya tidak terlihat seperti orang yang nyawanya sedang mengalami hitung mundur waktu.

“Mereka menyuruh saya pulang. Pulang untuk berobat dengan pengobatan tradisional, minum obat herbal saja” katanya dengan nada yang tenang.

“Kenapa?” karena percaya pada pengobatan tradisional?

“Karena takut.” Nina menggelengkan kepala, melihat saya yang penuh penasaran, dia menjelaskan : “takut kalau berobat di Taiwan, tidak ada dana untuk membayar biaya pengobatan.”

Saya teringat sebuah kalimat “orang miskin tidak ada hak untuk sakit”

Tahun ini, Nina berusia 23 tahun, dia cerdas dan tanggap. Nina berasal dari sebuah desa di Indramayu, Jawa Tengah. Sebagai anak sulung, setelah lulus SMA, dia bekerja di pabrik suku cadang lokomotif dengan gaji setiap bulan 2,3 juta, supaya kedua adiknya bisa menyelesaikan pendidikannya. Ditambah lagi penghasilan ayahnya yang tidak menetap, walaupun sekeluarga berlima tidak akan mati kelaparan, tetapi juga tidak berani ada impian lain.

Demi memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, Nina datang ke Taiwan pada bulan Oktober 2018. Karena tidak ada simpanan, Nina tidak sanggup membayar biaya agensi yang begitu mahal, sehingga hanya bisa memilih bekerja sebagai perawat rumah tangga yang bergaji 17.000 ntd (Rp 8.330.000, 1 ntd = Rp 490), supaya biaya agensi bisa dibayar dengan menyicil setelah datang ke Taiwan. Untuk itu, pada bulan pertama bekerja di Taiwan, setelah dipotong biaya-biaya lainnya, dia hanya mendapatkan 3.000 ntd (Rp 1.470.000), selanjutnya ada beberapa bulan mendapatkan 8.000 ntd (Rp 3.920.000), 11.000 ntd (Rp 5.390.000), 12.000 ntd (Rp 5.880.000). Setiap bulan Nina menyisihkan 2.000 ntd (Rp 980.000) untuk dirinya sendiri, sisanya semua dikirim ke Indonesia.

Ini sepertinya terlihat seperti kisah kebanyakan pekerja migran, tetapi kehidupan Nina mulai berubah di sini.

Pada Oktober 2019, Nina akhirnya melunasi biaya agensi, dan sudah bisa mulai menabung di mana setiap bulan akan ditransfer ke rekening yang ada di Indonesia. Tetapi pada bulan yang sama, dia menyadari bahwa masa menstruasinya mencapai 20-an hari, terakhir berhenti karena konsumsi obat. Pada awal tahun 2020 bulan Januari, masa menstruasi Nina kembali tidak normal, dan karena kehilangan banyak darah menyebabkan kepala pusing; bulan Februari, sempat beberapa kali pingsan dan dibawa ke ruang darurat Rumah Sakit, dokter mengira Nina ada kemungkinan terkena penyakit anemia aplastik. Untuk itu, tabungan 20.000ntd (Rp 9.800.000) di Indonesia, diminta transfer kembali untuk biaya pengobatan.

“Majikanmu baikkah?”

“Baik”

“Agensi kamu baikkah?

“Baik”

Hanya saja, setelah agensi mendapatkan bukti diagnosa, agensi meminta Nina agar segera kembali ke Indonesia.

“Saya sendiri tidak tahu sakit apa, sampai ke depnaker baru pertama kali mengetahuinya!” nada bicara Nina agak tinggi dari biasanya.

“Kamu masih bilang agensi baik? Saya dengan ekspresi yang meragukan, Nina tersenyum. Saya tidak tahu apakah dia juga merasa konyol atau dia terlalu polos dan baik hati.

Awalnya majikan dan agensi berharap agar Nina segera kembali ke Indonesia, supaya majikan bisa mempekerjakan perawat rumah tangga yang baru. Setelah melalui beberapa kali perjuangan akhirnya Nina bisa tinggal di Taiwan untuk berobat, kemudian kami melakukan pemeriksaan yang lebih detail lagi dan sudah dipastikan Nina terdiagnonsa anemia aplastic. Singkat kata, sumsum tulang Nina tidak bisa memproduksi sel darah merah, sel darah putih dan trombosit sehingga mudah mengeluarkan darah, dan bisa dikarenakan kekurangan sel darah putih sehingga mudah terinfeksi dan menyebabkan kematian.

“Saat mendengar informasi ini, otak terasa kosong” ini terlalu berat bagi seseorang yang hanya berusia 23 tahun.

Pada saat pemeriksaan, angka sel darah merah, sel darah putih dan trombosit Nina berada dibawah normal, sudah sampai tahap “berbahaya”. Dokter mengatakan ini sudah dalam keadaan “darurat”, harus segera melakukan transplantasi sumsum tulang, jika tidak, dalam satu dua tahun jika Nina terinfeksi bakteri maka akan mudah mengeluarkan darah yang banyak dan kemudian meninggal. Kematian tiba-tiba terasa begitu dekat, masa depan begitu jauh. Tetapi jika transplantasi berhasil maka ada 90% kehidupan Nina bisa kembali normal.

Untuk melakukan transplantasi sumsum tulang harus ada pendonor yang cocok, masing-masing adiknya yang berusia 14 tahun dan 6 tahun mempunyai kesempatan 25% dan paling memungkinkan untuk cocok sebagai pendonor.

“Setelah sakit pernahkah kamu menangis?”

“Pernah sekali.” Kapan? “pada saat dokter bilang harus melakukan transplantasi sumsum tulang dari adik, saya merasa kasihan pada mereka karena mereka masih kecil. Jadi saat itu saya bertanya kepada dokter, jika dilakukan transplantasi sumsum tulang, apakah mereka bisa sakit, jika bisa, tidak perlu, biarkan saya sendiri saja yang sakit” hubungan persaudaraan Nina dan adik-adiknya sangat baik, sama sekali tidak ingin “menyusahkan” mereka. Untung saja, transplantasi sumsum tulang tidak akan mempengaruhi kesehatan pendonor, ini menandakan nyawa Nina masih ada sedikit harapan.

圖像裡可能有1 人

Sekarang setiap minggu Nina harus mengambil darah, test darah, kembali dirujuk dan melakukan transfusi darah, untuk membuatnya “sementara” terhindar dari bahaya. Di lain sisi, kami sedang berusaha menembus wabah corona saat ini supaya bisa mengatur ibu Nina dan kedua adiknya datang ke Taiwan, untuk melakukan pemeriksaan. Jika berhasil akan segera melakukan transplantasi sumsum tulang. Sementara kedua adiknya tidak ada asuransi di Taiwan, semua pemeriksaan memerlukan biaya yang sangat besar.

Jika tidak beruntung, kedua adiknya tidak cocok maka hanya bisa mencari data pendonor yang cocok dari bank sumsum tulang Rumah sakit Tzu Chi. Tetapi, baik proses pencarian pendonor yang cocok maupun transplantasi sumsum tulang nantinya, ini merupakan beban pengeluaran sangat besar yang tidak sanggup ditanggung oleh keluarga Nina.

Jika tidak beruntung, juga tidak bisa menemukan pendonor yang cocok dari bank sumsum tulang belakang RS Tzu Chi maka hanya bisa menyerah untuk melakukan transplantasi sumsum tulang, dan akan dilakukan pengobatan imunoterapi. Pengobatan imunoterapi lebih murah, tetapi tidak bisa mengobati akar permasalahan penyakit, mudah kambuh, dan sekali demi sekali efek pengobatan akan berkurang. Hanya saja ini merupakan jalan terakhir untuk melanjutkan nyawanya.

Pengurusan dokumentasi, transportasi, akomodasi, makanan dan biaya pengobatan, semuanya ditotalkan melampaui 400.000ntd (Rp 196.000.000), biaya sebesar ini tidak sanggup ditanggung oleh sebuah organisasi kemasyarakatan (TIWA). TIWA jarang terbuka untuk menggalang dana demi masalah individu, tetapi terakhir kami memutuskan untuk menggalang dana –  kami hanya berharap nyawa Nina bisa diselamatkan.

“Apa impianmu?” pertanyaan umum yang terakhir saya tanya.

“Sembuh.” Tentu saja harus sembuh dulu. “Jika bisa, ingin terus bekerja di Taiwan, setelah adik-adik dewasa kemudian pulang ke Indonesia untuk menikah.” Jawaban Nina sangatlah sederhana, tetapi saat ini bagi dia, yang paling sulit adalah impian yang sederhana ini.

——

Untuk menyelamatkan Nina, kami membutuhkan bantuan Anda sekalian.Jika Anda bersedia, Mari kita Bersama-sama menyelamatkan nyawa Nina.

🍀Informasi menyumbang🍀
Lembaga keuangan : Kantor pos (700)
No. Rekening : 0001651 0220241
Nama : 莉娜 Nina Herlina

%d 位部落客按了讚: